Homeschooling atau belajar di rumah mulai menjadi tren di Indonesia. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2015, terdapat 11 ribu anak usia sekolah yang homeschooling.
Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Hamid Muhammad, menyebut konsep dasar homeschooling adalah anak-anak belajar mandiri di rumah, dibimbing orangtua atau guru yang datang ke rumah. Ada tiga macam homeschooling, yakni yang hanya dilaksanakan satu keluarga atau homeschooling tunggal, yang dilaksanakan beberapa keluarga atau homeschooling majemuk, dan homeschooling yang dilakukan dalam komunitas dalam penyusunan kurikulum dan perangkat lainnya.
Di Indonesia, homeschooling masih jauh dari ideal dan kurang diakui ijazahnya dibanding sistem sekolah konvensional. Pendidikan di Indonesia hanya masih sebatas sekolah. Meski demikian, homeschooling sudah melahirkan sejumlah tokoh terkemuka. Tokoh pendidikan anak, Seto Mulyadi, dalam buku Homeschooling Keluarga Kak Seto (2007) menyebutkan, cukup banyak yang menjadi tokoh pergerakan nasional, di antaranya adalah Ki Hadjar Dewantara dan Buya Hamka.
Banyak para kiai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya di rumah, juga di pesantren orang tua mereka. Tentu saja diantara anak-anak pemuka agama itu di waktu yang lain belajar juga di pesantren yang jauh dari rumahnya. Anak-anak bangsawan pun sejak dulu juga menerapkan homeschooling, ketika sekolah belum dikenal masyarakat Indonesia.
Pendidikan nyaris selalu diartikan sebagai sekolah dan orang tak bersekolah sama saja dengan orang tak berpendidikan. Hingga orang-orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke sekolah terbaik, agar anak mereka jadi yang terbaik. Orang-orang tampaknya lupa, Thomas Alva Edison bukan hasil sebuah sekolah. Sekolah bahkan menilai Edison adalah anak bodoh. Beruntungnya, Nancy Matthews Elliott, sang ibu jauh lebih mengerti Thomas Alva Edison kecil ketimbang lembaga pendidikan bernama sekolah. Setelah tak bersekolah, dia justru cemerlang. Dia pernah membuat surat kabar pada usia belasan tahun dan dunia mengenalnya sebagai penemu dengan banyak hak paten.
Pendidikan di rumah atau sekolah di rumah bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Meski tidak disebut homeschooling, manusia di zaman purba belajar di lingkungan keluarganya. Meski tak tinggal dalam lingkungan yang disebut rumah. Mereka hidup di goa. Orang tua mengajarkan mereka bagaimana mereka bertahan hidup. Begitu pun setelah zaman berburu dan pindah-pindah berlalu. Keluarga adalah pendidik terpenting jauh sebelum zaman modern dimana sekolah menjadi candu.
Di zaman modern ini pun rupanya tak semua orang tua percaya pada lembaga bernama sekolah, dengan berbagai alasan. Setiap anak didik punya keistimewaan masing-masing. Sekolah sebagai lembaga pendidikan seringkali memberi formula atau kurikulum yang sama dalam mendidik siswa. Ketidakpercayaan orang tua pada sekolah seringkali agar anaknya tidak menjadi apa yang dimaui lembaga sekolah, yang biasanya dimiliki atau dikontrol sebuah yayasan atau pemerintahan. Orang tua ini juga punya cara dan persepsi sendiri tentang bagaimana mendidik anak. Haji Agus Salim termasuk orang tua golongan ini.
Haji Agus Salim tergolong unik. Meski dia adalah lulusan terbaik HBS KW III Jakarta, Salim justru tak suka menyekolahkan anak-anaknya. Dia mendidik anak-anaknya bersama istrinya di rumah. Tentu saja mereka diajarkan baca tulis. Karena bahasa Belanda adalah bahasa pergaulan di masa kolonial, meski dia tokoh Islam, Agus Salim, tetap membiasakan anak-anaknya berbahasa Belanda sejak kecil. Di rumah kontrakannya yang bocor di kala hujan, Salim kadang mengajak anaknya bermain kapal-kapalan. Saat itulah anak-anaknya belajar sambil bermain.
Dari rumah keluarga Agus Salim itu nasionalisme dan semangat kemerdekaan digelorakan Agus Salim. Menurut Sutrisno Kuntoyo dkk dalam buku H. Agus Salim: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (2001), “bibit kebangsaan perlu ditanamkan kepada anak-anak di samping pelajaran lainnya…. Agus Salim mempunyai cara yang unik atau lain daripada yang lain dalam mendidik putra-putrinya.”
Anak-anak Agus Salim memang terbiasa dengan pergerakan nasional. Theodora Atia yang disapa Dolly, turut serta dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda. Rosihan Anwar, dalam Sejarah Kecil La Petite Histoire Indonesia Jilid 3 (2004), menyebut Dolly ikut bernyanyi memperkenalkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan Wage Rudolf Supratman. Dalam revolusi fisik, setidaknya dua anak laki-lakinya jadi tentara juga. Achmad Syauket Salim bahkan gugur dalam Peristiwa Lengkong pada 25 Januari 1945. Islam Basari Salim sampai berpangkat Kolonel, dia satu angkatan dengan Kemal Idris, Daan Mogot di PETA.
Agus Salim, melalui homeschooling juga mengajari anak-anaknya untuk kuat sebagai manusia bagian dari pergerakan nasional yang merupakan musuh pemerintah kolonial. Salah seorang putrinya, Violet Hanisah, adalah istri dari tokoh pergerakan bawah tanah yang anti Belanda dan anti Jepang, Johan Sjahruzah. Sang suami merupakan keponakan dari Sutan Syahrir, bahkan ikut serta dalam partai Syahrir, Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Jika Pahlawan Nasional Haji Agus Salim berlaku sebagai guru dalam homeschooling, maka Rohana Kudus adalah siswanya. Rohana yang anak dari Mohammad Rasad, seorang Jaksa asal Kotogadang, yang juga ayah dari Sutan Syahrir. Hanya beda ibu saja. Rohana memang tak pernah sekolah, tak seperti Syahrir dan anak laki-laki ayahnya yang lain.
“Pada usia enam tahun sudah belajar membaca dan menulis pada seorang isteri Jaksa di Alahan Panjang,” tulis Fitriyanti dalam Rohana Kudus: Wartawan Perempuan Pertama Indonesia (2005). Di usia delapan tahun, Rohana membiasakan diri membacakan koran ke ayahnya hingga dia makin lancar membaca. Ayahnya pun sering membawakan bacaan-bacaan untuknya. Lama-kelamaan dia bisa menulis juga, selain keterampilan menjahit dan merajut. Rohana termasuk tokoh pers dan pendidikan perempuan.
Di kalangan pemusik, soal homeschooling, Said Kelana pun menjadi guru musik bagi anak-anaknya. Menurut Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia(2015), Idham Noorsaid, Iromy Noorsaid, Lydia Noorsaid, dan Imaniar Noorsaid belajar jadi musisi sejak kecil. Keluarga ini punya band The Kids, yang merupakan band bocah awal-awal dalam sejarah musik pop Indonesia. Dari anak-anak Said Kelana, di dekade silam Imaniar yang paling dikenal.
Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Hamid Muhammad, menyebut konsep dasar homeschooling adalah anak-anak belajar mandiri di rumah, dibimbing orangtua atau guru yang datang ke rumah. Ada tiga macam homeschooling, yakni yang hanya dilaksanakan satu keluarga atau homeschooling tunggal, yang dilaksanakan beberapa keluarga atau homeschooling majemuk, dan homeschooling yang dilakukan dalam komunitas dalam penyusunan kurikulum dan perangkat lainnya.
Di Indonesia, homeschooling masih jauh dari ideal dan kurang diakui ijazahnya dibanding sistem sekolah konvensional. Pendidikan di Indonesia hanya masih sebatas sekolah. Meski demikian, homeschooling sudah melahirkan sejumlah tokoh terkemuka. Tokoh pendidikan anak, Seto Mulyadi, dalam buku Homeschooling Keluarga Kak Seto (2007) menyebutkan, cukup banyak yang menjadi tokoh pergerakan nasional, di antaranya adalah Ki Hadjar Dewantara dan Buya Hamka.
Banyak para kiai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya di rumah, juga di pesantren orang tua mereka. Tentu saja diantara anak-anak pemuka agama itu di waktu yang lain belajar juga di pesantren yang jauh dari rumahnya. Anak-anak bangsawan pun sejak dulu juga menerapkan homeschooling, ketika sekolah belum dikenal masyarakat Indonesia.
Pendidikan nyaris selalu diartikan sebagai sekolah dan orang tak bersekolah sama saja dengan orang tak berpendidikan. Hingga orang-orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke sekolah terbaik, agar anak mereka jadi yang terbaik. Orang-orang tampaknya lupa, Thomas Alva Edison bukan hasil sebuah sekolah. Sekolah bahkan menilai Edison adalah anak bodoh. Beruntungnya, Nancy Matthews Elliott, sang ibu jauh lebih mengerti Thomas Alva Edison kecil ketimbang lembaga pendidikan bernama sekolah. Setelah tak bersekolah, dia justru cemerlang. Dia pernah membuat surat kabar pada usia belasan tahun dan dunia mengenalnya sebagai penemu dengan banyak hak paten.
Pendidikan di rumah atau sekolah di rumah bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Meski tidak disebut homeschooling, manusia di zaman purba belajar di lingkungan keluarganya. Meski tak tinggal dalam lingkungan yang disebut rumah. Mereka hidup di goa. Orang tua mengajarkan mereka bagaimana mereka bertahan hidup. Begitu pun setelah zaman berburu dan pindah-pindah berlalu. Keluarga adalah pendidik terpenting jauh sebelum zaman modern dimana sekolah menjadi candu.
Di zaman modern ini pun rupanya tak semua orang tua percaya pada lembaga bernama sekolah, dengan berbagai alasan. Setiap anak didik punya keistimewaan masing-masing. Sekolah sebagai lembaga pendidikan seringkali memberi formula atau kurikulum yang sama dalam mendidik siswa. Ketidakpercayaan orang tua pada sekolah seringkali agar anaknya tidak menjadi apa yang dimaui lembaga sekolah, yang biasanya dimiliki atau dikontrol sebuah yayasan atau pemerintahan. Orang tua ini juga punya cara dan persepsi sendiri tentang bagaimana mendidik anak. Haji Agus Salim termasuk orang tua golongan ini.
Haji Agus Salim tergolong unik. Meski dia adalah lulusan terbaik HBS KW III Jakarta, Salim justru tak suka menyekolahkan anak-anaknya. Dia mendidik anak-anaknya bersama istrinya di rumah. Tentu saja mereka diajarkan baca tulis. Karena bahasa Belanda adalah bahasa pergaulan di masa kolonial, meski dia tokoh Islam, Agus Salim, tetap membiasakan anak-anaknya berbahasa Belanda sejak kecil. Di rumah kontrakannya yang bocor di kala hujan, Salim kadang mengajak anaknya bermain kapal-kapalan. Saat itulah anak-anaknya belajar sambil bermain.
Dari rumah keluarga Agus Salim itu nasionalisme dan semangat kemerdekaan digelorakan Agus Salim. Menurut Sutrisno Kuntoyo dkk dalam buku H. Agus Salim: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (2001), “bibit kebangsaan perlu ditanamkan kepada anak-anak di samping pelajaran lainnya…. Agus Salim mempunyai cara yang unik atau lain daripada yang lain dalam mendidik putra-putrinya.”
Anak-anak Agus Salim memang terbiasa dengan pergerakan nasional. Theodora Atia yang disapa Dolly, turut serta dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda. Rosihan Anwar, dalam Sejarah Kecil La Petite Histoire Indonesia Jilid 3 (2004), menyebut Dolly ikut bernyanyi memperkenalkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan Wage Rudolf Supratman. Dalam revolusi fisik, setidaknya dua anak laki-lakinya jadi tentara juga. Achmad Syauket Salim bahkan gugur dalam Peristiwa Lengkong pada 25 Januari 1945. Islam Basari Salim sampai berpangkat Kolonel, dia satu angkatan dengan Kemal Idris, Daan Mogot di PETA.
Agus Salim, melalui homeschooling juga mengajari anak-anaknya untuk kuat sebagai manusia bagian dari pergerakan nasional yang merupakan musuh pemerintah kolonial. Salah seorang putrinya, Violet Hanisah, adalah istri dari tokoh pergerakan bawah tanah yang anti Belanda dan anti Jepang, Johan Sjahruzah. Sang suami merupakan keponakan dari Sutan Syahrir, bahkan ikut serta dalam partai Syahrir, Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Jika Pahlawan Nasional Haji Agus Salim berlaku sebagai guru dalam homeschooling, maka Rohana Kudus adalah siswanya. Rohana yang anak dari Mohammad Rasad, seorang Jaksa asal Kotogadang, yang juga ayah dari Sutan Syahrir. Hanya beda ibu saja. Rohana memang tak pernah sekolah, tak seperti Syahrir dan anak laki-laki ayahnya yang lain.
“Pada usia enam tahun sudah belajar membaca dan menulis pada seorang isteri Jaksa di Alahan Panjang,” tulis Fitriyanti dalam Rohana Kudus: Wartawan Perempuan Pertama Indonesia (2005). Di usia delapan tahun, Rohana membiasakan diri membacakan koran ke ayahnya hingga dia makin lancar membaca. Ayahnya pun sering membawakan bacaan-bacaan untuknya. Lama-kelamaan dia bisa menulis juga, selain keterampilan menjahit dan merajut. Rohana termasuk tokoh pers dan pendidikan perempuan.
Di kalangan pemusik, soal homeschooling, Said Kelana pun menjadi guru musik bagi anak-anaknya. Menurut Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia(2015), Idham Noorsaid, Iromy Noorsaid, Lydia Noorsaid, dan Imaniar Noorsaid belajar jadi musisi sejak kecil. Keluarga ini punya band The Kids, yang merupakan band bocah awal-awal dalam sejarah musik pop Indonesia. Dari anak-anak Said Kelana, di dekade silam Imaniar yang paling dikenal.
(tirto.id – Pendidikan)
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti