Putriku juga Homeschooling, karena jauh dari TK bermanhaj Salaf ^^
Bekal Awal HS
Beberapa pertanyaan awal seputar Homeschooling/Home Education
Pertanyaan I : Apakah Home Schooling/Home Education itu?
jawab: Homeschooling merupakan sebuah kata benda/noun, yang berarti: pendidikan anak-anak yang dilakukan di rumah oleh orang tua mereka
Homeschooling atau homeschool (biasa juga disebut home education atau home based learning) adalah sebuah alternative pendidikan anak-anak yang dilaksanakan dalam sebuah lingkungan tempat tinggal, yaitu keluarga, walaupun ada juga yang menyelenggarakannya dengan mendatangkan guru. Berjalannya proses pendidikan anak-anak yang homeschooling dipenuhi melalui keluarga, ataupun komunitas. Di Negara-negara maju, Homeschooling merupakan sebuah alternatif pendidikan yang diakui legalitasnya. Dimana anak-anak berada dalam sebuah lingkungan yang mendukung pendidikannya.
Ada beberapa alasan orangtua yang mendasari dipilihnya homeschooling. 3 alasan utama dipilihnya alternative ini berdasarkan studi di Amerika Serikat adalah: untuk mendukung kebutuhan agama/moral anak-anak, karena tinggal di daerah terpencil/pelosok, atau tinggal di luar negeri dan sering berpindah, atau juga seorang atlet/actor yang belajar di rumah.
Homeschooling bisa menjadi pilihan bentuk pendidikan untuk anak-anak dengan keadaan tertentu. Contohnya, anak-anak yang downgraded, mereka bisa memperoleh keuntungan dari homeschooling, dengan memanfaatkan internet, murah dan mudah. Dalam arti yang disamakan dengan pembelajaran jarak jauh, homeschooling bisa dikombinasikan dengan pendidikan tradisional untuk memberikan hasil yang jauh lebih baik. Homeschooling juga merujuk kepada pemberian instruksi di bawah bimbingan correspondence school atau umbrella school. Di beberapa tempat, anak-anak yang homeschooling bias memperoleh kurikulum di atas usia mereka pada umumnya, jika mereka mampu.
Penerapan homeschooling yang dijalankan tanpa adanya kurikulum dinamakan unschooling, sebuah terminology yang diberikan oleh John Holt pada tahun 1977 di majalahnya, Growing without Schooling.
Pertanyaan II: Bagaimana memulainya?
Jawab:
Marry Griffith, dalam bukunya:”The Unschooling Handbook” mengatakan setidaknya ada tiga karakteristik keluarga yang menerapkan ‘unschooling’. Walaupun ditulis untuk metode ‘unschooling’ tetapi secara umum gambaran tentang keluarga Home Schooling tak berbeda jauh darinya.
I. Lingkungan yang mendukung
Sebuah keluarga yang ingin menerapkan ‘unschooling’ biasanya mendesain lingkungan rumahnya sedemikian rupa untuk memfasilitasi keingintahuan anak-anak. Beberapa lemari dan rak disiapkan sebagai tempat menyimpan kertas berkas, kardus bekas, karton, lem, gunting, spidol, pensil dan pulpen. Ada pula yang menyiapkan lemari penyimpanan karya anak-anak, agar mereka merasa dihargai dan menambah kepercayaan dirinya. Tentu semua lemari dan rak ini terletak di tempat yang dapat dijangkau anak-anak. Orang tua juga menyiapkan sumber-sumber bacaan penunjang. Ada perpustakaan kecil yang menarik di rumah. Isinya puzzle, mainan, VCD, Internet, ensiklopedi anak-anak yang penuh warna dan gambar, buku-buku pengetahuan populer yang membuat anak-anak bangga untuk menceritakannya kembali di depan kakek-nenek mereka, buku-buku kecil berbahan tebal yang cocok untuk adik bayi, dan sebagainya. Bahkan beberapa keluarga sengaja pindah rumah dan mencari rumah dengan halaman luas, lingkungan bersahabat, serta memungkinkan eksplorasi lebih luas.
II. Orang Dewasa sebagai Fasilitator
Karakteristik ini memungkinkan anak menemukan jawaban atas rasa ingin tahunya. Saat proyek membuat rumah kertas menemui kesulitan, Ibu membantu si 7 tahun mengarahkan apa yang sebaiknya dilakukan. Mengapa fasilitator? saat kita menempatkan diri sebagai fasilitator, maka tugas kita adalah menemani, mengarahkan, dan bersama-sama menemukan pemecahan masalah atau mendapatkan sumber bacaan. Seringkali dari anak-anaklah kita mengetahui sesuatu. Apakah kita peduli perbedaan ngengat dan kupu-kupu? atau perbedaan antara gajah Asia dengan gajah Afrika? bagi anak-anak, hal ini sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang kita anggap penting, bahkan tak berarti banyak untuk anak-anak. Ingatlah, dalam Home Schooling anak adalah subyek belajar, orang tua menemani arah minat si anak (mengenai ini insya alloh akan dibahas pada tulisan lain). Bagi keluarga yang masih tinggal bersama orang lain/orang lain berada di rumah mereka, pengkondisian lingkungan cukup berat. Anda harus meyakinkan mereka, menyatukan visi, dan bersepakat tentang aturan-aturan Anda.
III.Keyakinan bahwa Anak Akan Belajar
Bila sudah menyiapkan lingkungan dan sudah ada orang dewasa sebagai fasilitator, kita harus yakin bahwa anak-anak akan belajar sesuai rasa ingin tahu mereka, cara yang mereka anggap enak, waktu yang mereka anggap tepat, materi yang mereka anggap penting, dan seterusnya. Saat pertama kali menerapkan HE/HS seringkali orang tua bingung tentang materi yang akan diajarkan. Bagi anak usia balita, metode unschooling bisa sangat cocok diterapkan. Ikutilah minat anak-anak, penuhi rasa ingin tahu mereka. Beberapa orang tua mencoba menyusun kurikulum/rencana belajar tetapi sering gagal diterapkan karena berbeda dengan mood anak. Belajar dengan aturan/terstruktur bisa jadi cocok bila anak sudah mulai memasuki usia cukup matang, misalnya memasuki 7 tahun. Ingat saat anak-anak masih bayi, apakah Anda membuat kurikulum kapan dia harus tengkurap, duduk, merangkak, berdiri, berjalan, berbicara,dan seterusnya? Orang tua adalah pengarah, tetapi anak-anak secara alami adalah individu yang serba ingin tahu dan ingin belajar.
catatan: metode ‘unschooling adalah salah satu metode dalam Home Schooling dimana orang tua bertindak sebagai fasilitator, menemani anak-anak bereksplorasi, tak ada kurikulum, tak ada jadwal, tak ada ‘harus’ ini dan itu. Metode lainnya :terstruktur, unit studi, Moore formula, Montessori, Natural, Ecletic, Charlotte Mason. Mudah-mudahan bisa ditulis di lain kesempatan.
Pertanyaan III : Bagaimana Legalitasnya?
Jawab:
Untuk program Sekolah rumah; menginduk pada program kejar paket A atau B
atau C atau D
Untuk program sekolah rumah setingkat SD menginduk pada program kejar paket A.
Standar penyelenggaraan Paket A adalah sebagai berikut :
1. Kumpulkan peserta Didik 15~20 orang
2. Penyelenggara 1 orang
3. Tutor 2 orang (siapa aja yang bisa/ tidak perlu S1)
4. Laporkan ke Dik nas kecamatan atau menginduk pada PKBM yang sudah ada.
PKBM adalah Program kegiatan belajar masyarakat, yang dikelola oleh para
“relawan”
5. Dana akan turun untuk, penyelenggara, tutor, siswa
6. Buku panduan mata pelajaran diberikan secara “cuma-cuma”
7. Ujian Negara–>ijazah negara.
8. Tempat belajar –> dimana saja boleh bahkan dikolong jembatan juga boleh,
pakai tiker saja juga boleh.
9. Seragam apa saja boleh
Itu standarnya, Jadi program paket itu ditujukan bagi mereka yang karena
alasan tertentu tidak dapat masuk ke sekolah formal.
jadi penyelenggaraan program paket itu disesuaikan dengan tujuan dari pihak
penyelnggara.
Untuk sekolah rumah (Home schooling) masuk kepada program paket ini,
sehingga ijazah yang diberikan adalah ijazah paket setara dan dapat
melanjutkan kejenjang sekolah berikutnya termasuk sekolah tinggi.
berdasarkan UU sisdinas no 20.
Pertanyaan IV : Bagaimana Metodenya?
Jawab:
Setelah menyiapkan Lingkungan, mengumpulkan kepercayaan diri serta keyakinan, tibalah orang tua yang akan menjalankan Home Educating/Home Schooling bertanya :’Bagaimana metode belajarnya?’ Ada beberapa alternatif yang terkenal bisa dicoba satu per satu atau dipaduserasikan satu sama lain.
1. Metode Montessori
Metode ini digagas oleh Maria Montessori. Dalam pandangan metode ini, seorang anak hanya perlu diberikan kondisi untuk belajar, dan bukan dituntun tentang materi yang harus dipelajarinya. Pandangan dalam metode ini percaya bahwa bila seorang anak diberikan ruang serta dukungan lingkungan yang tepat, dengan sendirinya anak akan mempelajari banyak hal. Konsekuensi dari metode ini biasanya pendidik menciptakan miniatur kehidupan. Seperti lahan luar ruang yang luas dengan beberapa alat permainan, beberapa hewan peliharaan, bak pasir, dan sebagainya. Beberapa sekolah saat ini menyamatkan kata montessori, maka seharusnya sekolah-sekolah seperti ini memiliki waktu luar kelas yang lebih banyak daripada di kelas. Untuk yang kreatif, menerapkan metode ini tak harus memindahkan TK/Peternakan ke halaman rumah. Barang-barang bekas bisa dimanfaatkan dengan baik.
2.Metode Terstruktur
Metode ini bisa juga disebut School at Home. Metode ini menerapkan penjadwalan belajar, susunan materi yang diterapkan secara disiplin, serta banyak melibatkan kertas kerja, buku, dan sebagainya. Metode ini cocok untuk anak yang sudah dewasa atau anak yang sedang ingin melakukan proyek tertentu dan harus melakukan berbagai persiapan. Bila orang tua menerapkannya untuk anak-anak di bawah usia 8 tahun biasanya lebih banyak kecewa di kedua pihak. Anak merasa bosan karena harus duduk dan mengerjakan begitu banyak soal, sedangkan orang tua kecewa karena banyak target dan jadwal yang sudah disusun tidak tercapai.Keunggulan metode ini adalah baik untuk memnuhi standar kurikulum nasional, bagi orang tua yang menginginkannya, serta bagi pesekolah rumah yang baru akan menjalankan HE. Orang tua yang lebih lama menerapkan HE biasanya meninggalkan metode ini.
3. Metode Unschooling
Metode ini basisnya adalah kemerdekaan dalam belajar. Dalam metode ini, orang tua layaknya hanya sebagai pendamping belajar bagi anak-anak. ‘Belajar’ nya anak-anak adalah keseharian mereka.Mulai dari bangun tidur sampai naik ke tempat tidur lagi. Tak ada target, ujian, jadwal ketat, dan lainnya. Bisa dibilang metode ini berkebalikan dari metode terstruktur. Anak-anak bisa belajar banyak materi dalam satu kali kegiatan. Misalnya si anak setelah sarapan ingin keluar rumah bermain sepeda. Orang tua menemaninya sambil mengarahkan anak-anak untuk mengambil manfaat ilmu dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dibaui, dan pada saat yang bersamaan mereka mempelajari ilmu sosial, IPA, etika, matematika, dan sebagainya.
4.Unit Studi
Dalam metode ini semua mata pelajaran menjadi satu tema. Misalnya Anda sekeluarga ingin berkebun, maka anak-anak dari yang usianya 2 tahun, 4 tahun, dan 7 tahun ikut serta. Si kakak mengenal nama-nama tumbuhan, ada yang berasal dari benih, biji, tunas, ada yang berkayu keras, ada yang tidak. Si 4 tahun belajar bahasa inggris dan berhitung jumlah benih yang harus ditanam dalam satu lubang, dan si 2 tahun mengasah ujung-ujung syarafnya dengan bermain tanah, jadilah semua anak mendapat kesempatan. Metode ini cocok untuk pesekolah rumah dengan banyak anak. Tetapi jika si sulung sudah lebih besar ada kalanya ia ingin sendiri, maka Anda bisa meberikannya ruang untuknya sementara Anda menangani 2 anak lainnya.
5. Metode Charlotte Mason
Dalam metode ini , anak biasanya membaca sebuah living book lalu menceritakannya kembali dengan bahsa mereka sendiri. Selain membaca living books, metode ini juga menekankan pada pengamatan alamiah, mengamati hal-hal yang ada di sekitar anak. Living books adalah buku-buku cerita yang memiliki muatan moril sehingga menggugah nurani si anak dan menjadi nilai dalam dirinya. Beberapa contoh living books biasanya kebanyakan dari luar negeri dan berisi cerita fiksi/rekaan. Tetapi untuk rumah tangga bermanhaj salaf pastinya memiliki biografi Rasululloh, Sahabat, Ulama-ulama yang soleh, para Nabi dan Rasul, dan tentunya kisah-kisah Al Quran.
Inilah beberapa contoh materi yang bisa diadaptasi, dikembangkan, dan desesuaikan dengan keadaan masing-masing keluarga pesekolah rumah. Tak ada satu metode yang harus diterapkan secara kaku, bahkan lebih banyak keluarga pesekolah rumah yang menggabungkan beberapa metode yang disebut metode ekletik.
Pertanyaan V: Bagaimana kurikulumnya?
Jawab:
Sumber-sumber belajar homeschooling bias didapat dengan cara mencari kurikulum nasional di internet, lalu disesuaikan dengan kebutuhan keluarga. Ada juga yang menjalankannya tanpa kurikulum. Beberapa anak berlangganan belajar online secara kolektif maupun individual. Tak kalah pentingnya adalah pengalaman sehari-hari yang menjadi ‘kurikulum’ yang asyik, menyenangkan, dan berkesan bagi anak-anak.
Pertanyaan VI : Apakah saya memerlukan komunitas?
Jawab:
Salah satu cara agar Anda semakin yakin dan percaya diri memulai Home Schooling adalah dengan membentuk komunitas. Carilah beberapa keluarga yang menjalankan HS dan tinggal tak jauh dari lingkungan kita. Buat sebuah acara ‘kumpul-kumpul’ atau ‘sharing’ lalu membuat komitmen bersama untuk bersatu dalam sebuah komunitas.
Tujuan dari terbentuknya komunitas tak lain adalah membentuk wadah saling berbagi pengalaman, informasi, ilmu dan sebagainya seputar praktek home schooling. Sebagai praktisi awal, lebih mudah bila berbagai masalah yang dihadapi saat menjalankan HS dibicarakan bersama. Kalaupun belum mendapatkan solusi, paling tidak sudah bisa berbagi beban, dan biasanya masalah yang dihadapi oleh sebuah keluarga HS mungkin juga dihadapi keluarga HS lain, sehingga muncullah perasaan ‘aku tak sendiri’.
Setelah terbentuknya komunitas pertanyaan selanjutnya biasanya adalah,apa kegiatan komunitas kita? beberapa praktek kegiatan komunitas yang pernah saya jumpai antara lain:
1. Beberapa Ibu beserta anak-anak mereka menentukan hari berkumpul mereka. Mengerjakan kertas kerja, belajar bersama, bahkan tak jarang kegiatan pengajaran bersama. Bentuk seperti ini tak ubahnya seperti kelas dalam sekolah-sekolah, hanya saja yang menjadi guru adalah Ibu masing-masing. Kelebihannya adalah adanya materi pengajaran yang biasanya langsung dirasakan ‘manfaat’ nya oleh ibu-ibu lain. Kekurangannya antara lain tidak adanya kerja sama dan tidak mudahnya mempertahankan bentuk komunitas semacam ini dalam waktu yang lama. Materi yang telah dipersiapkan lebih dulu belum tentu cocok dengan minat anak pada saat itu. Maka kegiatan komunitas tak beda dengan sekolah. Para ibu berlega hati dan senang karena anak-anak mereka mendapatkan pengajaran ‘gratis’ Beban besar biasanya ada pada 1 atau 2 orang saja, sedangkan anggota komunitas lain tak ubahnya ibu-ibu yang mengantar sekolah; datang dan mengobrol, karena tidak tahu kegiatan yang bisa mereka lakukan. Ada 2 komunitas (yang saya tahu) yang telah tumbang karena mempraktekkan hal semacam ini.
2.Ada pula ‘komunitas’ Home Schooling yang sebenarnya tidak bisa disebut sebagai komunitas. Semangat dari sebuah komunitas seharusnya adalah saling menolong, tetapi komunitas jenis ini sebenarnya lebih bisa disebut sebagai ‘bisnis komunitas’. Saya mohon maaf bila terminologi ini terdengar kasar karena saya sulit menemukan istilah yang pas untuk menggambarkan komunitas jenis ini. Bagaimana tidak berbau bisnis. Saat Anda bergabung dengan komunitas semacam ini, Anda akan dihadapkan kepada biaya ini dan itu, biaya kurikulum, biaya ujian, biaya anu, itu, ini, dan lainnya. Yang bila dikalkulasikan melebihi biaya dari sekolah formal. Beberapa praktisi dan pemerhati HS saat ini sedang gencar untuk ‘memaksa’ ‘komunitas’ jenis ini agar mengalihkan nama mereka menjadi sebuah bisnis pendidikan yang akan terdengar lebih adil. Kalau komunitas seperti ini secara terang-terangan mengatakan diri mereka sebuah lembaga bisnis dan bukan komunitas HS, maka wajarlah mereka mengharapkan keuntungan dari sana.
3.Komunitas selanjutnya adalah komunitas dimana di dalamnya bergabung keluarga-keluarga HS, mereka saling bertukar informasi tentang buku-buku yang bagus, sumber-sumber belajar yang menarik. Tak jarang mereka membeli secara kolektif bahan-bahan belajar, berkumpul untuk berdiskusi, membuat keterampilan bersama, dan sebagainya. Tak ada satu keluarga yang memiliki beban lebih berat dari yang lainnya. Jadwal berkumpul mereka paling tidak sebulan sekali dan diisi dengan diskusi, berbagi ilmu, bersosialisasi, dan sebagainya. Tanggung jawab pendidikan tetap dijalankan masing-masing oleh orang tua tiap anggota komunitas. Komunitas jenis ini biasanya berlomba-lomba menghadirkan yang terbaik, dan cenderung bertahan lebih lama, karena nafas utamanya adalah saling membantu.
MENEPIS KERAGUAN
• Keraguan Pertama : “Aku tidak bisa menghadapi anak !”
Jawaban : Kala anda memutuskan untuk menikah, apakah tidak terpikirkan bakal memiliki anak ? Mempelajari keterampilan mengasuh dan mendidik anak adalah konsekwensi yang harus anda pikul dari keputusan yang anda ambil itu. Kecuali anda seorang egois yang hanya memikirkan kesenangan pribadi dari sebuah pernikahan ! Perhatikanlah, banyak orang yang mempelajari keterampilan seksual dengan cara membeli banyak buku referensi atau berkonsultasi kepada pakar seks, meski keterampilan tersebut amat sangat bersifat primitif dan – maaf -menjijikan kala dibuka di depan publik. Mengapa anda kalah oleh mereka. Anda bisa bersaing dengan mereka dengan mempelajari keterampilan yang jauh lebih penting, yakni keterampilan mendidik anak. Banyak wanita khawatir penampilannya tidak lagi menarik di hadapan suami lalu berusaha keras dengan berbagai cara. Tapi amat sedikit yang khawatir kalau penampilannya tidak lagi menarik dihadapan anak-anaknya sehingga tidak melakukan apapun untuk mereka. Ah, tragis sekali !
• Keraguan kedua : “Aku bukan ustadz !”
Jawaban : Ini sudah dijelaskan, bahwa materi pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak usia s/d 13 tahun (usia ibtidaiyyah) adalah apa yang juga wajib (fardhu ‘ain) diketahui setiap muslim dan muslimah. Maka tidak ada alasan untuk menghindari kewajiban mempelajarinya, walaupun sekiranya kita tidak memiliki anak. Apalagi jika kita memiliki anak. Anda bisa bertanya pada diri sendiri :
“Apakah kalau aku tidak ber-IHS, aku bebas dari kewajiban mempelajarinya ?”.
• Keraguan ketiga : Seorang ibu barangkali berkata : “Kalau aku secara total harus mengurus anak, bagaimana aku bisa mengembangkan diri ?”
Jawaban : Saya ingin menepis keraguan ini dengan menukil beberapa kalimat yang ditulis seorang wanita barat yang beragama nasrani, agar kaum muslimat – yang telah dijaga kehormatan dirinya oleh Allah dengan hijab – dapat merenungkannya
(semoga kesimpulan mereka sama dengan saya, bahwa kalimat-kalimat ini lebih layak diucapkan oleh seorang muslimah yang berhijab) :
“Dalam budaya Barat, terbebas dari tanggung jawab mengasuh anak seringkali dipandang sebagai cara terbaik dan satu-satunya cara bagi seorang ibu untuk mengembangkan diri. Saya tidak setuju sama sekali dengan pandangan seperti itu.Waktu yang saya habiskan di rumah, bermain dan belajar bersama anak-anak, adalah masa paling produktif dalam hidup saya. Saya serius!”. (Marty Layne, Ibuku Guruku, hal. 26) Selanjutnya dia berkata di hal. 364 : “Sebenarnya hanya dengan benar-benar merawat dan mengasuh anaklah kita belajar bagaimana menjadi ibu.” .Lanjutnya lagi, masih di hal. 364 : “Mari kita lihat sebagian cara untuk mengembangkan kehidupan yang tidak mengharuskan pemisahan dari anak-anak kita.”
Kemudian dia memberikan contoh : membaca, merajut, membuat karya tulis atau berolah raga ringan ! (Ket. : Cetak tebal dan garis bawah dari Abu Muhammad)
MEMETIK MANFAAT
Apa manfaat menjalankan IHS ? Kalau saja tidak ada manfaat lain dari IHS selain pahala dari sisi Allah atas upaya kita menunaikan peran dan kewajiban selaku suami/istri dan atau ayah/ibu secara maksimal dan optimal, maka bagi seorang mukmin hal itu sudah cukup. Tapi ada banyak manfaat lain yang semuanya sudah disinggung pada penjelasan yang terdahulu. Semoga bermanfaat.
Sumber: https://www.facebook.com/InfoKajianSalafdanResensiBuku/posts/putriku-juga-home-schooling-karena-jauh-dari-tk-bermanhaj-salaf-bekal-awal-hsbeb/750785458329352/